Rabu, 18 Agustus 2010

Kitakah Pendusta Agama Itu?

Dalam acara buka puasa bersama yang diselenggarakan sebuah travel haji di ruang ballroom hotel di Jakarta Pusat, seorang penceramah bercerita tentang KH. Ahmad Dahlan, sekitar tahun 1926 di Jogjakarta. Sebagai seorang guru, beliau mengajarkan membaca Al Qur'an kepada murid-muridnya sejak dari Juz ‘Amma ( juz paling akhir dalam Al Qur'an yang berisi surat-surat pendek dan biasa dibaca sebagai bacaan sholat).


Suatu hari sampailah pengajaran pada surat Al Ma'un yang merupakan surat ke 107 dalam Al Qur'an. Selama 90 hari (3 bulan) berturut-turut, KH Ahmad Dahlan terus mengajarkan tentang surat tersebut. Bukan itu saja, dalam setiap sholat dan ceramah beliau terus juga membaca surat itu.

Pada hari ke 91 seorang murid memberanikan diri bertanya kepadanya. "Kyai, mengapa selama 90 hari Kyai terus menerus membaca dan mengajarkan tentang surat Al Ma'un? Sementara untuk surat yang lain Kyai hanya mengajarkan satu kali lalu meneruskan dengan surat lain?". Kyai Ahmad Dahlan menjawab "Apakah kalian semua sudah hafal surat tersebut?" Sang murid menjawab "Andai kami diminta membaca surat Al Ma'un segera setelah bangun tidur, pasti kami langsung bisa, Kyai". Beliau bertanya lagi "Apakah telah kalian ketahui arti dari tiap ayat surat Al Ma'un itu?" Sang murid menjawab "Sudah, Kyai". "Apakah kalian sudah pahami maksud ayat-ayat tersebut?". "Insya Allah kami sudah paham, Kyai".

Lalu Kyai Ahmad Dahlan meminta seorang dari murid- murid itu membaca surat Al Ma'un. Maka terdengarlah suara merdu dibacakannya ayat-ayat "Araital ladzi yukadzdzibu bid diin, fadzalikal ladzi yadu'ul yatiim, walaa yahuddu ‘alaa thoamil miskiin... dst". Setelah selesai, Kyai meminta seorang murid yang lain membaca arti dari ayat-ayat tersebut. "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria' (pamer), dan orang yang enggan (menolong dengan) barang yang berguna".

Sang Kyai menarik nafas dan bertanya "Jadi sejak saya ajarkan surat Al Ma'un, sudah berapa anak yatim yang kalian pelihara dalam perlindungan kalian? Sudah berapa orang miskin yang kalian pernah beri makan?" Semua murid terdiam sambil menggeleng "Tak satupun, Kyai". Kemudian Kyai Ahmad Dahlan mengutip sebuah hadits Rasul Muhammad "Nerakalah bagi orang bodoh yang tidak mau belajar. Nerakalah bagi orang yang sudah mengetahui dan tidak mau mengamalkan".

Cerita di atas menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan momen Ramadlan yang sedang kita lalui saat ini bahwa esensi dari kewajiban puasa sesungguhnya bukan hanya latihan menahan lapar dan haus agar kita ikut merasakan lapar dan haus yang biasa diderita sebagian terbesar saudara kita sebangsa, tetapi juga menjadi ajang dimulainya perwujudan tindakan nyata dari nilai-nilai Qur'ani yang selama ini hanya kita baca dan kita hafalkan sejak kecil.

Nafas Ramadlan yang mulia dengan dijalankannya shalat wajib dan sunnah, mengaji dan mengkaji ilmu agama serta mengeluarkan zakat, akan menjadi sangat indah jika bisa kita lakukan terus menerus bukan hanya ketika Ramadlan saja untuk dilupakan segera setelah shalat Ied selesai ditunaikan.

Jika saja Ramadlan yang mengajarkan disiplin melalui shalat, empati melalui rasa lapar dan haus, kesediaan berbagi melalui zakat dan kejujuran (karena tak ada yang tahu persis apakah kita puasa atau tidak kecuali diri kita sendiri dan Allah) dapat kita aplikasikan pada bulan-bulan lain niscaya akan mampu membuat setiap elemen bangsa ini menjadi lebih berdaya dengan tidak dilakukannya korupsi uang dan waktu, tidak digunakannya jabatan dengan arogan untuk menekan kaum miskin yang sebenarnya tak pernah ingin menjadi miskin dan kesediaan berbagi dengan sekian ratus ribu anak yatim dan anak jalanan yang tiap menit bisa kita temukan.

Dalam sebuah hadits Rasul Muhammad berkata "Aku dan orang yang menyantuni anak yatim akan seperti ini di surga (Rasul merapatkan telunjuk dan jari tengahnya)".

Semoga Ramadlan kali ini mampu mereformasi banyak hal yang belum sempat kita lakukan di Ramadlan-Ramadlan yang lalu. Semoga.

Rahmah Hasjim, Jakarta, September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar